REFLUKS LARINGOFARING (LPR)


Oleh: dr.Anggoro Eka Raditya SpT.H.T.K.L.


I.      DEFINISI REFLUKS LARINGOFARING

Refluks laringofaring (LPR) adalah aliran balik isi lambung yang menimbulkan jejas di daerah  faring dan laring. Faring merupakan ruangan memanjang mulai dari bagian belakang rongga hidung, ke bawah melewati belakang rongga mulut dan berakhir di atas esofagus atau kerongkongan. Bagian faring yang berada dibelakang hidung dinamakan nasofaring atau kita sebut sebagai faring atas. Bagian faring yang berada dibelakang mulut dinamakan orofaring atau kita sebut sebagai faring tengah. Bagian faring yang berada di atas esofagus disebut hipofaring atau kita sebut sebagai faring bawah. Laring merupakan bagian tubuh di depan faring yang didalamnya terdapat pita suara. Dibawah laring terdapat saluran pernafasan yang meliputi trakea, bronkus dan paru-paru. Beberapa literatur menyebutkan istilah lain dari penyakit tersebut adalah : reflux laryngitis, laryngeal reflux, gastropharyngeal reflux, pharyngoesophageal reflux, supraesophageal reflux, extraesophageal reflux, serta atypical reflux. Adanya aliran balik isi lambung yang berisi asam lambung dan enzim pencernaan akan menyebabkan timbulnya jejas pada laring, farings, trakea, paru-paru, bahkan sinus paranasal.


Gambar posisi faring, laring, dan esofagus

II.      PENYEBAB DAN MEKANISME TERJADINYA LPR
Pada keadaan normal, terdapat 4 rintangan terjadinya refluks ke daerah laringofarings antara lain: 1) Katub esofagus bawah (Lower esophageal sphincter / LES), 2) Gerakan alami esofagus dan bersihan asam lambung, 3) Tahanan selaput lendir esofagus, 4) Katub esofagus atas. Proses kelainan atau ketidaknormalan yang terjadi pada refluks laringfaring diduga karena adanya gangguan fungsi pada katub esofagus atas (upper esophageal sphincter / UES) dan katub esofagus bawah (Lower esophageal sphincter / LES) secara bersamaan. Fungsi utama dari katub esofagus atas adalah mencegah udara memasuki esofagus selama respirasi dan mencegah isi esofagus memasuki laringfaring. Kegagalan fungsi pada organ ini merupakan masalah utama pada pasien refluks laringfaring. Saat terjadi refluks dari isi lambung, yang diantaranya terdiri dari asam lambung dan enzime pencernaan (pepsin dan lipase), akan mengakibatkan kerusakan langsung pada selaput lendir di faring dan laring. Kerusakan ini yang akan memunculkan reaksi peradangan yang meliputi sensasi tidak nyaman di faring dan laring termasuk gangguan menelan atau perubahan suara.
Selain kegagalan fungsi katub esofagus atas (upper esophageal sphincter / UES), terjadinya refluks ke laringfaring didahului oleh kegagalan fungsi penghalang lainnya termasuk katub esofagus bawah (Lower esophageal sphincter / LES) yang merupakan penghalang masuknya isi lambung ke esofagus. Adanya kegagalan fungsi katub esofagus bawah (Lower esophageal sphincter / LES) menyebabkan isi lambung masuk ke esofagus dan dapat menyebabkan kerusakan pada selaput lendir esofagus akibat dari asam lambung dan enzim pencernaan.
Pepsin adalah enzim pencernaan yang berperan dalam pencernaan protein. Lipase  merupakan enzime pencernaan lemak / lipid. Dinding selaput lendir dari saluran pencernaan juga terdapat susunan lemak dan protein oleh karena itu enzim pepsin dan lipase mempunyai potensi untuk mencerna organ pencernaan. Lambung sebetulnya juga mempunyai potensi untuk tercerna juga oleh enzimnya dan untuk sebagai pertahanan lambung mengeluarkan lapisan lendir dan bikarbonat untuk melapisi permukaan dindingnya yang berfungsi sebagai pelindung.



Mekanisme terjadinya refluks isi lambung

I.      PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis refluks laringfaring dapat ditegakkan berdasarkan wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari wawancara digali gejala sesuai dengan index gejala refluks laringfaring. Diagnosis mengarah ke refluks laringfaring bila didapatkan skor  Indeks Gejala Refluks lebih dari 13.

Indeks Gejala Refluks Laringfaring
Gejala
0 = tidak ada
5 = sangat berat
Suara serak/problem suara
0 1 2 3 4 5
Sering mengeluarkan lendir /berdehem
0 1 2 3 4 5
Lendir berlebihan di tenggorok
0 1 2 3 4 5
Kesukaran menelan
0 1 2 3 4 5
Batuk setelah makan/berbaring
0 1 2 3 4 5
Kesukaran bernafas/tercekik
0 1 2 3 4 5
Batuk yang mengganggu
0 1 2 3 4 5
Rasa mengganjal di tenggorokan
0 1 2 3 4 5
Dada panas, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan, terasa ada isi lambung yang kembali, tenggorok terasa asam pahit atau sepet
0 1 2 3 4 5

Sedangkan untuk menilai kondisi larings saat pemeriksaan laringoskopi, didasarkan pada 8 tanda klinis (Reflux Finding Score/RFS). Bila skor tanda klinis (RFS) didapatkan lebih dari 7 maka menandakan adanya refluks laringfaring. Untuk dapat menentukan RFS ini diperlukan suatu pemeriksaan yang dapat memperlihatkan kondisi di daerah laring faring. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan laringoskopi. Laringoskopi dapat dilakukan dengan cermin yang dimasukkan didalam mulut yang pantulannya diarahkan untuk memvisualisasi laringofaring, dan dengan endoskopi yang dimasukkan melalui hidung ke pangkal hidung dan kemudian diarahkan ke bawah menuju ke laringfaring.
Pemantauan derajat keasaman (pH) dengan probe ganda yang diletakkan di esofagus dan faring selama 24 jam merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis refluks laringfaring. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang invasif tetapi aman dilakukan.

III.   PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien dengan refluks laringfaring membutuhkan penanganan multi disiplin ilmu seperti ahli THT, ahli penyakit dalam, ahli gizi, ahli psikiatri, dan beberapa disiplin ilmu terkait. Secara umum penatalaksanaan refluks laringfaring adalah modifikasi gaya hidup, pola makan, dan terapi obat. Pemilihan terapi pada pasien dengan refluks laringfaring berdasarkan dari berat ringannya gejala refluks dan respon terhadap terapi.
Pendekatan terapi pada pasien refluks laringfaring dimulai dari edukasi pasien untuk memodifikasi pola makan dan gaya hidup termasuk menurunkan berat badan pada pasien obesitas, olahraga teratur, menghindari rokok dan mengurangi konsumsi alkohol, minuman bersoda, serta kafein. Makan tidaklah asal kenyang tapi sebaiknya memperhitungkan kandungan nutrisi yang ada didalam makanan tersebut. Untuk menjaga tubuh sehat diperlukan berbagai nutrisi secara beragam yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Porsi makan juga sebaiknya disesuaikan kondisi lambung. Tidak baik memenuhi lambung dengan makanan, perlu untuk membagi kapasitas lambung dengan makanan, air, dan udara secara seimbang. Ada banyak pola makan yang diklaim sebagai pola makan sehat tapi tidak semua cocok untuk semua manusia. Perlu pengkajian dan evaluasi pola makan mana yang cocok untuk setiap individu manusia. Adanya konsumsi variasi bahan makanan dengan pengendalian porsi diperlukan untuk menjaga kualitas tubuh manusia untuk tetap dalam kondisi sehat. Pasien juga diberikan edukasi untuk menghindari makan dan minum 2-3 jam sebelum tidur serta meninggikan kepala sewaktu tidur.
Selain modifikasi pola makan dan gaya hidup, dapat juga dengan pemberian terapi obat yang dapat menurunkan produksi asam lambung. Obat yang dapat diberikan biasanya merupakan golongan H2 – reseptor antagonis dan/atau proton pump inhibitor (PPI). Contoh obat yang termasuk dalam H2 – reseptor antagonis yaitu ranitidin, simetidin, famotidin, sedangkan contoh obat PPI yaitu omeprazole, esomeprazole, pantozole, lansoprazole. Pilihan penggunaan jenis obat merupakan kewenangan dokter tetapi pasien dapat berkomunikasi untuk dapat ditentukan terapi yang sesuai. Pemberian obat golongan PPI direkomendasikan dua kali sehari 30 menit sebelum makan dengan durasi bisa selama 3 sampai 6 bulan. Jika semua penatalaksanaan tersebut sudah dilakukan tetapi masih belum didapatkan adanya penyembuhan maka perlu dievaluasi kondisi yang menyebabkan tidak efektifnya terapi yang telah dilakukan. Jika diagnosis dan terapi obat sudah sesuai dan maksimal tetapi masih didapatkan tanda refluks, maka dapat dipertimbangkan tindakan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA 

1.     Koufman JA, Aviv JE, Casiano RR, Shaw GY. Laryngofaringeal Reflux: Position statement of the committee on speech, voice, and swallowing disorders of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg. 2002;127:32-35.

2.     http://www.ilmudasar.com/2016/10/Pengertian-Struktur-Fungsi-Bagian-Faring-adalah.html

3.     https://www.mountnittany.org/articles/healthsheets/7131

4.     Phipps CD, et al. Gastroesophageal Reflux Contributing to Chronic Sinus Disease in Children. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2000;126:831-836.

5.     Pham V. Laryngopharyngeal Reflux With An Emphasis On Diagnostic And Therapeutic Considerations. Grand Rounds Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology. 2009.

6.     Barret E.K., Barman M.S., Boitano S, Brooks L.H., Ganong’s Review of Medical Physiology 23th ed, McGraw-Hill Companies, 2010.

7.     Bailey’s Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 5th edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2014.

8.     Blumin JH, Johnston N. Laryngopharyngeal Reflux.  In: Bailey’s Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 5th edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2014. P: 958 – 977.