Pahami tentang Stress Psikologis itu Sekarang

oleh dr. Arina Widya Murni, SpPD-KPsi, FINASIM

Stress psikologis boleh dikatakan adalah suatu respon yang tidak spesifik yang diperlihatkan seseorang disaat mengalami rasa tidak nyaman ataupun rasa tertekan. Cukup hanya dengan rasa tidak nyaman saja dan kita pun bisa mengalami stress secara psikologis. Mudah sekali? Yap, begitulah...

Lalu apakah itu kondisi yang merugikan? Tidak selalu... Bahkan respon terhadap stress malah bisa membahagiakan. Koq bisa?

Sangat bisa! Karena ternyata stress justru bisa membuat kita dinamis, bergerak terus mencapai mimpi dan angan kita. Stress bisa diartikan sebagai halangan dan rintangan yang mesti diatasi. Stress bisa diartikan sebagai pemicu semangat untuk berjuang.

Namun selama ini anggapan sebagian orang, stress adalah sesuatu yang mesti dilupakan. Sesuatu yang mesti dihilangkan, bahkan harus dibuang. Mungkinkah itu?

Melupakan hal yang membuat kita stress sepertinya tidak gampang, karena biasanya sesuatu itu pastilah penting dan sangat berhubungan dengan kita. Jadi, bagaimana melupakannya dalam pikiran kita. Yang mungkin dilakukan adalah mengelola dan mengolah stress tersebut menjadi sesuatu yang membahagiakan. Terdengar aneh memang, stress tapi bahagia.

Sebelum membahas bagaimana bisa menghadapi stress dengan bahagia, ada baiknya kita dalami dulu apa itu stress dan bagaimana pengaruhnya bagi kita.

Dalam menghadapi tekanan (stresor), terdapat tiga mekanisme yang terjadi dalam fikiran dan tubuh kita: reaksi alarm, reaksi bertahan dan reaksi kelelahan.

1. Reaksi alarm (siaga) / alarm reaction
Merupakan reaksi yang spontan dan muncul seketika saat seseorang mengalami stress/tekanan psikologis. Segala sesuatu yang dapat menimbulkan stress/rasa tidak nyaman/rasa tertekan, dikenal dengan istilah stresor. Ada banyak macamnya stresor di antaranya dapat berupa kejadian atau peristiwa alam seperti kebakaran, banjir, dan gempa bumi, bisa berupa perlakuan tidak menyenangkan yang kita terima, terdapatnya konflik keluarga, kesulitan ekonomi/problem keuangan/terlilit hutang dan krisis kepercayaan pada orang lain/konflik pribadi.

Reaksi spontan ini pun dapat dibagi kepada dua hal, reaksi menerima/menantang (fight) atau reaksi melarikan diri dari stresor (flight). Dalam keseharian kadang ditemukan reaksi diam (tidak fight maupun flight). Masa ini dapat berlangsung 3-7 hari pertama setelah terpapar stresor.

Pada fase alarm kita cenderung memilih lari dari stresor, karena terasa menenangkan atau menimbulkan rasa aman. Namun rasa aman itu hanya sesaat sebenarnya. Suatu saat stresor itu akan datang lagi dengan berbagai tingkat ketegangan yang dimunculkannya.

Ketika stresor itu berulang maka tubuh kita akan memunculkan berbagai serangan yang menekan hati dan perasaan kita. Menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan yang bisa berkurang dengan sendirinya setelah beberapa hari serangan. Menjelang seminggu setelah stresor itu muncul, mestinya kita akan kembali tenang dan normal kembali. Namun sangat bergantung kepada kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan masalah yang dihadapinya.

Sebagai contoh, setelah kita mengalami goncangan hebat akibat gempa, maka untuk beberapa hari kita merasa goyang dan berusaha menenangkan diri dengan cara memperhatikan benda yang ada di sekitar kita. Bila terasa ada guncangan lagi, kita akan melihat ke sekitar kita, kabel listrik goyang lagi juga kah? Air di galon bergejolak juga kah? Itu adalah cara untuk meyakinkan bahwa goyangan yang kita rasakan ada atau tidak sebenarnya.

Mencoba mencari fakta bahwa memang terjadi gempa dengan cara tersebut di atas adalah mekanisme kita untuk beradaptasi dengan masalah yang terjadi. Ketika kita melihat bahwa benda-benda tersebut bergoyang atau memang beriak, maka kita akan segera tahu bahwa yang kita rasakan adalah benar adanya MEMANG ADA GEMPA! LARI!

Tapi ketika kita lihat bahwa kabelnya tidak bergoyang, air dalam galon tidak beriak, mestinya kita paham ternyata gempanya tidak ada! Hanya kita yang merasakan, hanya kita yang merasa bergoyang.

Dalam fase alarm ini, tanpa kita sadari tubuh kita sebenarnya sudah bereaksi. Respon tubuh yang muncul adalah keadaan peringatan. Sistem syaraf kita akan bereaksi, tekanan darah dapat meningkat, denyut jantung pun meningkat, frekuensi bernafas pun ikutan bertambah dan dibarengi dengan peningkatan hormon stress yang akan beredar dalam darah dan mempengaruhi semua organ tubuh kita. Namun segera setelah situasi yang membuat stress berakhir, maka aksi tubuh yang tadi perlahan akan kembali ke kondisi awal.

Lalu kita kemudian tenang, dada yang berdegup kencang kemudian perlahan berkurang denyutnya, tangan yang dingin dan terasa mulai berkeringat, lambat laun terasa hangat kembali. Tubuh yang tadi tegang dan bersiaga untuk melarikan diri, kemudian kembali mengendor dan rileks perlahan. Itulah yang namanya kemampuan adaptasi (coping mehcanism). Semua proses tadi bisa berjalan dalam waktu yang singkat atau berhari-hari. Sangat bergantung kepada kemampuan kita masing-masing. Syukurnya kemampuan adaptasi ini bisa dilatih dan diperbaiki dari waktu ke waktu. Sayangnya tidak semua kita bisa dan mampu berbuat demikian.

Bila setelah seminggu, situasi mencekam seperti gempa tadi masih dirasakan, maka kita akan memasuki fase kedua, fase REAKSI BERTAHAN (the stage of resistance).

2. Reaksi Bertahan (the stage of resistance)
Adalah masa yang dipakai untuk mengembalikan kondisi ke homeostasis (kesemibangan). Di sinilah yang bisa menjadi titik tolak kemampuan atau kegagalan seseorang dalam menghadapi stresor. Masa untuk bisa kembali pada kondisi seimbang ini ditentukan oleh banyak hal, antara lain, sifat atau kepribadian kita, pola asuh yang pernah kita terima dari masa kecil, dipengaruhi juga oleh faktor genetik/faktor keturunan dan kumpulan beban pikiran yang tersimpan dalam memori seseorang.

Pada situasi stress yang berkelanjutan, seringnya ini akibat konflik psikososial, maka tubuh kita mulai beradaptasi. Tubuh kita beradaptasi dalam upaya mempertahankan keseimbangan (homeostasis) melalui mekanisme penyelesaian masalah. Tubuh kita akan berusaha mempertahankan kadar hormon stress dalam darah menurun menuju normal. Namun biasanya pada stress yang berlanjut/kronis ini, hormon stress ini tidak akan mencapai kadar normal dan akan mempengaruhi tubuh kita secara keseluruhan.

Pikiran kita juga mestinya kembali dalam penguasaan diri kita sendiri. Pada fase ini mestinya kita juga kembali ke awal mula suatu masalah atau stresor terjadi. Perlahan kita mulai menerima bahwa benar gempa itu tidak ada lagi, bahwa benar kalau guncangan-guncangan yang dialami tadi tidak nyata adanya. Dengan demikian ketenangan fikiran dan kembali normalnya respon tubuh menjadi parameter kemampuan kita beradaptasi.

Bila kita adalah seseorang yang mampu menghadapi stressor dengan melatih mekanisme coping yang adaptif (mampu adaptasi), maka kita akan kembali normal. Akan tetapi bila yang dimiliki orang tersebut mekanisme coping maladptif (gagal adaptasi), maka kelainan psikologis ini akan tetap berlanjut. Demikian pula halnya dengan reaksi tubuh kita. Reaksi bertahan ini akan berlangsung 3 hari sampai 2 minggu. Selanjutnya kita akan masuk pada reaksi kelelahan (the stage of exhaustion).

3. Reaksi Kelelahan (the stage of exhaustion)
Merupakan masa yang ditemui berbagai keluhan fisik maupun psikologis yang terjadi setelah lebih kurang dua minggu dari awal stresor dialami. Pada masa ini semua sumber daya tubuh sudah habis digunakan dalam menyelesaikan konflik emosi yang terjadi. Pada masa ini tubuh tidak lagi mampu mempertahankan fungsi normalnya. Bermunculanlah berbagai gejala, sakit kepala yang tidak mau hilang, atau datang berulang-ulang. Kembung dan nyeri ulu hati, sempit bila bernafas dan berbagai keluhan lainnya yang makin hari terasa makin menyiksa.

Pikiran pun makin terpuruk dalam kegelisahan, ibarat lingkaran setan. Kembung dan nyeri ulu hati makin terasa berat, kita pun makin cemas dan makin gelisah. Bukannya berkurang keluhan tersebut, namun makin berat dan makin menyiksa. Tak sedikit pasien lalu berlari ke Instalasi Gawat Darurat, hanya sekedar untuk mendapatkan pertolongan petugas kesehatan. Setelah mendapatkan pengobatan, mungkin dibantu dengan oksigen, disuntik dengan obat yang bisa meredakan nyeri di lambung, lalu keluhan itu berkurang. Perasaan pun perlahan mulai tenang dan akhirnya dipulangkan. Biasanya kita dinasehatkan untuk mengurangi stress yang dihadapi, atau diberi obat untuk beberapa hari dan sesaat pun keluhan berkurang. Tak menunggu lama kadang hanya beberapa hari, keluhan muncul lagi seiring dengan munculnya masalah baru ataupun masalah yang itu itu saja yang tak kunjung tuntas.