Halaman

Sharing kisah seorang istri penderita aslam & psikosomatis

oleh Cynthia Winarti Budiyanto

Pengalaman pribadi saat menghadapi suami saya Sulitno Jaya sebagai penderita aslam. Awal suami kena aslam, saya dan keluarga merasa cemas dan bingung dg segala perubahan drastis sikap dan tingkah lakunya. Saya pribadi tidak menyangka bahwa aslam bisa dengan cepat membuat dia berubah total dari ceria dan bersemangat menjadi penakut, cengeng, dan yang terparah adalah depresi.

Saat mencapai tahap depresi, ini adalah perjuangan terberat saya karena menguras fisik dan segala emosi saya dlm menghadapi dia yg kian hari takut dg sekelilingnya dan keluarga yg tidak mau mengerti.  Saya sendiri sangat sering merasa letih, kesal, dan hampir hilang kesabaran saat suami depresi. Bagaimana tidak? Sejak dia sakit, segala tanggung jawab jatuh kepada saya dan dia tidak bisa membantu.

Bantuan yg dia berikan hanya berupa keluhan, emosi yg berubah-ubah, dan dia hanya fokus pada diri dia sendiri. Bagaimana dia mau menolong saya jika dia sendiri tidak bisa menolong diri dia sendiri? Dia mengharapkan saya hanya fokus pada dia dan itu mustahil saya lakukan mengingat begitu banyaknya tekanan yg harus saya hadapi tanpa ada bantuan dari siapapun. Belum lagi dg kurangnya istirahat. Saat kumat, dia minta ditemani sekalipun itu tengah malam atau subuh. Hasilnya jam tidur saya cuma 2 atau 3 jam. Malah pernah beberapa hari berturut-turut cuma 1 jam saja. Padahal paginya saya harus urus anak dan kerja. Lalu, salahkah saya jika emosi saya tidak stabil dan hilang kesabaran dlm menghadapi dia dan keluarga? Salahkah saya menganggap dia lebay, berlebihan, dan malas kalo melihat kondisi dia yang tidak seperti orang sakit? Yaahh....di mata dia, saya salah dan menganggap saya tidak peduli. Jujur, saya sakit hati mendengar anggapan dia itu.

Tapi saya juga sadar kalo saya balas lagi dengan kemarahan, yang ada hasilnya cuma pertengkaran yang gak berguna dan dia akan semakin tenggelam dalam depresinya. Lalu saya putuskan untuk mengambil sikap sekalipun hasilnya saya yang disalahkan.

Saya hanya mengambil 4 sikap:
1. Yang pasti support dlm hal-hal yg positif
2. Diam
3. Tegas, dlm artian bukan marah-marah ato ngejek lho.
4. Ngomong apa adanya.
Kalo marah tidak termasuk karena itu hanya muncul di saat-saat tertentu.

4 sikap itu saya ambil setelah mengamati siklus yg sering muncul:
1. Googling
Penderita aslam paling rajin googling mencari sebab-sebab penyakit, obat yang bisa buat cepat sembuh, teman-teman senasib, dan berita-berita yg membuat mereka parno atau ketakutan sendiri.

2. Sok sensitif
Setelah googling, 100% mereka akan merasakan 1001 sensasi-sensai yg mereka baca. Padahal sebelumnya baik-baik saja. Dan, buntut-buntutnya tiap hari akan sibuk merasakan sensasi baru dan sibuk memeriksa fisik.

3. Sok pintar
Penderita aslam mendadak bisa mendiagnosa penyakit hanya berdasarkan google dan sibuk mengkoleksi berbagai macam obat-obatan, yang kalo dikumpulkan bisa buka apotik. Kalopun dibawa ke dokter, sibuk memeriksa bahan-bahan obat. Dan yang parahnya, menukar atau menambah obat-obat yg sdh ditetapkan dokter.

4. Cerewet dan membantah segala masukan
Setelah sibuk merasakan sensasi-sensasi, penderita aslam pasti akan sibuk bertanya-tanya mengapa begini, mengapa begitu, kapan sembuhnya, dan yang paling parah mendadak bisa jadi paranormal. Jujur, menjadi paranormal ini yg paling menyebalkan. Hal kecil aja dihubung-hubungkan dg pertanda.  Saya bisa diam dan mendengarkan kecerewetan berbagai macam pertanyaan dan keluhan, tapi dlm hal paranormal, saya akan marah dan menyuruh dia diam. Endingnya, kata-kata pamungkas yg muncul, "Kamu tidak tau apa yg saya rasakan, atau hanya sesama yg bisa mengerti." Kata-kata itu sangaaaat bikin sakit hati. So, langsung pula saya jawab dg kata-kata pamungkas pula, "Saya memang tidak tau apa yg kamu rasakan, begitu pula kamu tidak tau dan tidak peduli dg apa yg saya rasakan. Sebenarnya mana yg lbh penting dlm hidup kamu, penyakit dan sensasi-sensasi yg nda jelas atau saya dan anak-anak yg ratusan kali dibilang paling penting dan disayangi?"

5. Emosi-emosi negatif, berupa mewek ato marah yang meledak-ledak
Muncul krn tidak bisa menjawab pertanyaan saya, merasa sendiri, tidak dimengerti, diabaikan, ketakutan, dan berbagai hal-hal negatif deh.

Dr siklus-siklus tadi, hanya sikap tegas dlm membatasi googling dan sok pintar, dan sikap diam dlm sok sensitif, ngeyel, dan mewek.  Kalo dia marah-marah, saya liat dulu marah dalam soal apa. Selama dia marah krn penyakitnya, saya diam. Kalo marah yg gak jelas dan menyerang keluarga (biasanya yg kena orang-orang yg nda bisa melawan, terutama anak-anak) , saya marah dan serang balik.  Kalo dia bertanya, saya selalu ngomong apa adanya sekalipun resiko dr jawaban saya adalah suami mewek dan mojok-mojok di sudut tempat tidur. Kejam, sadis, gak punya hati, otak kurang, dan berbagai macam julukan sudah banyak saya terima dari suami, keluarga dia ataupun dari keluarga saya sendiri. Yang terbaru adalah piranha, wkwkwkwk.

Apakah saya marah dg julukan-julukan itu?  TIDAK, saya justru bangga dg sekian banyak julukan itu karena saya bisa membuktikan sama suami bahwa sekalipun saya harus mengurus dia yg sakit, saya bisa menyelesaikan kewajiban-kewajiban lain (kerja, anak, dan rumah tangga) dan saya bisa menghadapi keluarga.  Sekalipun begitu ada saat-saat dimana penderita bisa diajak ngomong dan berpikir logis. Saat itulah yg saya pakai untuk ngomong apa adanya dan memberikan masukan-masukan positif.

Saya jg akan langsung memberi support saat dia berusaha merubah pola hidup dan pola pikir.  Akil baliq perubahan dia adalah dia melihat anak-anak yang tidak mau kemana-mana sampe dia sembuh. Dia sampe menangis terisak-isak saat mendengar itu dan berkata kalo dia mau berubah. Mendengar itu, tentu saja saya merasa senang dan lega karena motivasi sudah muncul dari diri dia sendiri. Kemudian dia mulai mencari info tentang grup penderita aslam, yang tidak disangkanya ternyata banyak. Lalu dia memilih untuk bergabung di GAI.  Awal bergabung yang dilakukannya adalah mencari teman senasib yg mempunyai keluhan sama dengan dia. Pertama sih saya diamkan saja dan mendengarkan cerita dia. Tapi...kok lama-lama jadi menyebalkan karena dia hanya mencari yg senasib dan mulai koleksi berbagai macam obat yg belum tentu cocok sama dia. Hasilnya...saya omelin dan tegaskan untuk mencari orang-orang yg berhasil dan harus belajar cara mereka.

So...dia mulai membaca file dan perjuangan sesama member dan admin. Ditambah lagi, dia bertemu langsung Liam Gho yang merupakan anggota GAI juga. Akhirnya dia termotivasi untuk merubah pola hidup, pola pikir, dan berjuang melawan sensasi yang mengganggu.  Yang paling penting, dia berjuang melawan diri dia sendiri.  Sekarang, kondisi dia sdh jauh mendingan dan dia sudah bisa mengkontrol sensasi-sensasi yg masih mengganggu sampai saat ini. Tapi....itu bukan berarti psikosomatis dan panic attack hilang total. Sekali-sekali dua sekawan itu masih dg setia colek-colek dia.

Well, dibandingkan menghadapi suami yg sakit, menghadapi keluarga dan orang luar adalah yang paling berat bagi saya. Saya masih bisa tertawa melihat tingkah laku dan pertanyaan ajaib dia. Tapi...saya sering hampir lepas kontrol dlm menghadapi keluarga dan orang luar, terutama dalam debat soal psikiater.  Keluarga dan orang luar mencemooh soal berobat ke psikiater krn ada stigma kalo yg ke psikiater itu adalah orang gila. Mereka hanya bisa ngomong kalo saya buang-buang uang dan yang harus saya lakukan adalah memberi semangat dan pengarahan.

Apa mereka pikir saya tidak mencoba? Sudah segala macam cara yg saya lakukan, tapi tidak berhasil seolah-olah pikiran dia sdh tertutup. Sementara itu, saya menyaksikan sendiri kalo dia semakin terpuruk dan jika dibiarkan, sdh pasti akan ada hal yg lebih buruk terjadi. Akhirnya saya putuskan untuk membawa ke psikiater sekalipun ada tentangan dan omongan negatif orang-orang. Dan, kenapa saya harus peduli dg anggapan dan perasaan mereka yg hanya peduli dg anggapan orang-orang? Sepenting itukah omongan orang dibandingkan menyembuhkan orang yang tidak tau cara mengatasi depresi yg dialaminya?  Wuiiihh...kalo diingat-ingat lagi, menyakitkan banget.

Sekarang... semuanya sudah berlalu dan dia sudah move on. Kesabaran, ketekunan, dan ketabahanlah yang dibutuhkan untuk melalui semuanya. Itu berlaku bukan hanya untuk pasangan, tapi juga untuk penderita aslam. Tidak ada yg penyakit yg bisa sembuh dengan cepat atau hal-hal yg ada di dunia ini dalam sekejap mata langsung ada. Semuanya butuh waktu dan proses. Jangan pernah menyerah, sekalipun ada banyak kesulitan yg ditemui.