oleh dr. Arina Widya Murni, SpPD-KPsi, FINASIM
Berbicara tentang hubungan Pikiran dan Lambung, rasanya kita semua sudah bisa menebak bahwa ini pembicaraan tentang sakit maag atau sakit asam lambung. Bahkan ada di antara kita yang sudah kenal dengan istilah dispepsia atau gastritis dan berbagai istilah yang sama-sama dipahami sebagai masalah di lambung dengan berbagai keluhannya.
Hampir setiap hari keluhan masalah di lambung ini ditemukan di praktek medis. Rasanya tidak ada dokter yang tidak pernah bertemu dengan pasien yang mempunyai keluhan di lambungnya. Terbukti kasus ini ditemui prevalensinya 5-40% di populasi umum. Artinya dari 100 orang penduduk, sekitar 5-40 orang pernah mengeluh ada masalah di lambungnya. Ini bukanlah masalah yang sederhana bukan? Dan ternyata dari sebanyak itu, faktanya 60% nya tidak ditemukan samasekali kelainan di lambungnya, terbukti saat diperiksa langsung ke lambungnya atau diendoskopi sama sekali tidak ada kelainan alias normal-normal saja. Nah, apa masalahna nih? Yang jelas pasien akan bingung dan kadang tidak percaya. Soalnya keluhannya ada, masa kelainannya nggak ketemu?
Problem ini memicu berbagai aksi dari pasien, mulai dari mempelajari sendiri dengan mencari tahu lewat internet sampai mencari buku-buku yang bisa didapatkan di mana saja. Sebagian lagi akan mencari dokter lain untuk berobat, pokoknya begitu dapat info ada dokter yang dikatakan bisa mengobati lebih baik, pasti didatangi, dicoba berobat dan bahkan menjalani berbagai pemeriksaan termasuk diendoskopi yang sebenarnya tidak mudah. Tidak jarang akhirnya berpindah-pindah dokter untuk sekedar memuaskan rasa ingin tahu tentang penyakit apa yang sedang dideritanya, istilah kerennya "shopping doctor".
Efek dari pemuasan rasa ingin tahu dan keinginan memastikan kelainan apa yang diderita ternyata tidak murah. Pasien akhirnya akan menghabiskan banyak waktu dan biaya. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 20% pasien akhirnya menjalani pengobatan bahkan separuhnya berobat jangka panjang, beberapa bulan bahkan sampai tahunan dan menghabiskan biaya pemeriksaan jutaan Rupiah. Sekitar 30% pasien bahkan terpaksa bolos dari sekolah atau tidak datang ke kantor karena tidak sanggup menahan sakit atau keluhan yang dirasa sangat mengganggu. Akhirnya pasien akan terjebak dalam kungkungan perasaan bahwa dia adalah seseorang yang berpenyakitan atau seseorang yang tidak akan mampu berbuat banyak untuk kehidupannya. Lalu terpuruk dalam kecemasan yang tidak habis-habisnya bahkan berujung kepada depresi mendalam. Tidak sedikit yang berfikir untuk mengakhiri hidup dengan berbagai cara termasuk upaya bunuh diri. Ternyata masalah lambung tidak sederhana.
Sebagian besar penderita sakit lambung akhirnya mengalami stress dengan keluhan asam lambung yang tidak habis-habisnya dan makin melemahkan semangat ini. Namun sebenarnya keluhan sakit lambung ini ternyata bisa juga terjadi karena adanya masalah psikologis yang mungkin tidak terpecahkan atau terpendam jauh di hati yang paling dalam. Akan tetapi biasanya pasien tidak serta merta mengakui ini, butuh cara khusus dalam menggalinya dan membuat pasien akhirnya mengakui dilema kehidupannya.
Masyarakat masih menganggap stres psikologis sebagai gangguan atau kelainan jiwa. Stigma gangguan jiwa ini membuat pasien berusaha menyembunyikan stress yang dia hadapi. Padahal stress semestinya dipahami sebagai hal yang biasa saja, bila kita tahu dan mengerti cara mengendalikannya. Karena bila stress psikologis bisa diatasi, keluhan penyakit akan berkurang dengan sendirinya.